Monday, October 11, 2010

Apa Kata Orang


“Bapak, masa Tia harus jalan kaki ke sekolah?apa kata orang klo melihat Tiara Astuti, putri seorang pengusaha kayu terkenal di Palembang,  pergi ke sekolah jala kaki?Ini, bakal jadi sorotan orang banyak, Pak.” Ungkap Tiara, gadis berusia 14 tahun kepada bapaknya.
Mendengar ucapan sang putri, pak Mgs. Ahmad Husni Barokah  hanya tersenyum, kemudian berusaha menenangkan hati putri  semata wayangnya. “Tia, kenapa kamu harus peduli dengan omongan orang?Apapun pendapat mereka tak akan merubah keadaan kamu, bukan?Kamu tetep anak pengusaha kayu terkenal di Palembang, meski kamu pergi ke sekolah dengan jalan kaki. Lagi juga, kan hanya untuk hari ini, besok-besok kamu diantar lagi pake mobil ’’, jelas sang bapak sambil memohon pengertian sang putri.
“Pokoknya, Tia tak mau tahu. Ini hari, Bapak mesti cari mobil buat anter Tia ke sekolah, Tia malu klo sampe orang melihat Tia jalan kaki ke sekolah, apa kata orang, Bapaak?”, Tia menjawab dengan nada agak meninggi.
Ya…begitulah, ilustrasi di atas terkadang juga pernah kita alami, meski kasusnya tak serupa.
Kita fokuskan pada kalimat”apa kata orang”. Pernahkan, kita juga menyematkan kalimat , “apa kata orang klo saya…” (hayoo..,ngaku?hehe..). Saya juga pernah kok mengalaminyaJ
Saya pikir sih, wajar-wajar saja, mengingat kita makhluk sosial, otomatis kita juga berpikir tentang respon orang terhadap apa yang kita lakukan. Lumrah-lumrah saja kan?Akan menjadi tidak lumrah, jika kita selalu ketakutan dalam bertindak, dengan alasan takut omongan orang. Contohnya, ketika semua sahabat kita memakai Blackberry, terus karena takut omongan temen, maka kita memaksakan orangtua kita untuk membelikannya untuk kita, padahal jelas-jelas orangtua kita tak mampu membelinya.
Atau kasus sederhana seperti ini, ketika kondangan semua ibu-ibu memakai kuningan (sstt..ini sebutan saya untuk yang namanya “emas”), maka ada istri yang maksa-maksain suaminya agar membelikannya, dia takut omongan ibu-ibu, klo nanti dibilang “kere”.
Bisa juga kasus seperti ini, karena si anak sudah menjadi orang sukses, dia malu mengakui ibunya yang memang dandanan, wawasan serta keadaan finansialnya tak sebagus dirinya. Saking malunya, sampe-sampe ketika ada temannya yang menanyakan sang ibu, dia bilang klo ibunya telah tiada (durhaka kan? Hanya karena takut omongan orang lagi). Ato, dengan teganya dia bohong, dengan menyewa orang lain untuk diakui sebagai ibu kandungnya (ups..opsi yang kedua hanya ada di sinetron ya, bercanda..biar tak terlampau monoton:))
Sampai segitunya memikirkan “apa kata orang” tentang diri kita. Klo begitu namanya, kita tak merdeka. Cobalah untuk berani tak memperdulikan omongan orang untuk hal-hal yang memang sifatnya privasi, artinya tak semua orang bisa kita samakan kondisinya dengan diri kita, contohnya  keadaan finansial seperti digambarkan pada ilustrasi di atas.
Buat apa memperdulikan omongan orang, klo pada akhirnya, itu hanya menyiksa diri kita sendiri. Memang awalnya tak gampang, tetapi kita harus melatihnya, apalagi untuk suatu keputusan besar yang kita ambil dalam hidup kita. Untuk apa pusing memikirkan apa kata orang kelak, yang penting kita bahagia, bertanggungjawab dengan keputusan itu. Kan kita yang akan menjalaninya, bukan orang lain,ok.

2 comments:

  1. hohoho...betull sekali..

    Sempit dunia ini jika hanya hidup berdasarkan pandangan orang, apalagi itu dikejar semata-mata agar dipuji mahluk.

    ReplyDelete

Buat semua Sobat, saya sangat menghargai satu dua patah komentar Anda, tapi please gak usah meninggalkan link di kolom ini atau di Wit's chat box, ok.
Saya sangat menghargai pengertian sobat:)