“Bapak, masa Tia harus jalan kaki
ke sekolah?apa kata orang klo melihat Tiara Astuti, putri seorang pengusaha
kayu terkenal di Palembang, pergi ke
sekolah jala kaki?Ini, bakal jadi sorotan orang banyak, Pak.” Ungkap Tiara,
gadis berusia 14 tahun kepada bapaknya.
Mendengar ucapan sang putri, pak
Mgs. Ahmad Husni Barokah hanya
tersenyum, kemudian berusaha menenangkan hati putri semata wayangnya. “Tia, kenapa kamu harus
peduli dengan omongan orang?Apapun pendapat mereka tak akan merubah keadaan
kamu, bukan?Kamu tetep anak pengusaha kayu terkenal di Palembang, meski kamu
pergi ke sekolah dengan jalan kaki. Lagi juga, kan hanya untuk hari ini,
besok-besok kamu diantar lagi pake mobil ’’, jelas sang bapak sambil memohon
pengertian sang putri.
“Pokoknya, Tia tak mau tahu. Ini
hari, Bapak mesti cari mobil buat anter Tia ke sekolah, Tia malu klo sampe
orang melihat Tia jalan kaki ke sekolah, apa kata orang, Bapaak?”, Tia menjawab
dengan nada agak meninggi.
Ya…begitulah, ilustrasi di atas
terkadang juga pernah kita alami, meski kasusnya tak serupa.
Kita fokuskan pada kalimat”apa
kata orang”. Pernahkan, kita juga menyematkan kalimat , “apa kata orang klo
saya…” (hayoo..,ngaku?hehe..). Saya juga pernah kok mengalaminyaJ
Saya pikir sih, wajar-wajar saja,
mengingat kita makhluk sosial, otomatis kita juga berpikir tentang respon orang
terhadap apa yang kita lakukan. Lumrah-lumrah saja kan?Akan menjadi tidak
lumrah, jika kita selalu ketakutan dalam bertindak, dengan alasan takut omongan
orang. Contohnya, ketika semua sahabat kita memakai Blackberry, terus karena
takut omongan temen, maka kita memaksakan orangtua kita untuk membelikannya
untuk kita, padahal jelas-jelas orangtua kita tak mampu membelinya.
Atau kasus sederhana seperti ini,
ketika kondangan semua ibu-ibu memakai kuningan (sstt..ini sebutan saya untuk
yang namanya “emas”),
maka ada istri yang maksa-maksain suaminya agar membelikannya, dia takut
omongan ibu-ibu, klo nanti dibilang “kere”.
Bisa juga kasus seperti ini,
karena si anak sudah menjadi orang sukses, dia malu mengakui ibunya yang memang
dandanan, wawasan serta keadaan finansialnya tak sebagus dirinya. Saking
malunya, sampe-sampe ketika ada temannya yang menanyakan sang ibu, dia bilang
klo ibunya telah tiada (durhaka kan? Hanya karena takut omongan orang lagi).
Ato, dengan teganya dia bohong, dengan menyewa orang lain untuk diakui sebagai
ibu kandungnya (ups..opsi yang kedua hanya ada di sinetron ya, bercanda..biar
tak terlampau monoton:))
Sampai segitunya memikirkan “apa
kata orang” tentang diri kita. Klo begitu namanya, kita tak merdeka. Cobalah
untuk berani tak memperdulikan omongan orang untuk hal-hal yang memang sifatnya
privasi, artinya tak semua orang bisa kita samakan kondisinya dengan diri kita,
contohnya keadaan finansial seperti digambarkan
pada ilustrasi di atas.
Buat apa memperdulikan omongan
orang, klo pada akhirnya, itu hanya menyiksa diri kita sendiri. Memang awalnya
tak gampang, tetapi kita harus melatihnya, apalagi untuk suatu keputusan besar
yang kita ambil dalam hidup kita. Untuk apa pusing memikirkan apa kata orang
kelak, yang penting kita bahagia, bertanggungjawab dengan keputusan itu. Kan
kita yang akan menjalaninya, bukan orang lain,ok.
hohoho...betull sekali..
ReplyDeleteSempit dunia ini jika hanya hidup berdasarkan pandangan orang, apalagi itu dikejar semata-mata agar dipuji mahluk.
hehehe..bnr mbk ^^
ReplyDelete