Monday, November 22, 2010

Kayu Ajaib

Pada zaman Bani Israel, ada seorang lelaki shalih yang hendak berdagang. Akan tetapi, dia tidak mempunyai modal. Akhirnya, lelaki itu meminjam uang kepada seorang saudagar yang dikenal pemurah. Dia meminta pinjaman sebesar seribu dinar.


Karena jumlahnya sangat banyak, saudagar yang dipinjami uang itu berkata, “Kau akan aku pinjami uang, tetapi carilah orang yang akan menjadi penjaminmu. Jika kau tidak bisa membayar, orang itu yang akan membayarnya!”


Lelaki shalih itu menjawab, “Cukuplah Allah sebagai penjaminku. Allah Mahakaya dan Mahakuasa!”
Saudagar itu lalu menukas,”Kalau begitu, carilah saksi. Agar jika terjadi apa-apa dia bisa menjadi saksi yang adil.”


Lelaki shalih itu menjawab. “Cukuplah Allah sebagai saksiku. Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui.”
“Kau benar.”


Lalu, saudagar itu meminjamkan uang seribu dinar setelah membuat kesepakatan bahwa tiga bulan kemudian uang itu harus sudah dikembalikan, karena uang itu akan digunakan.


 *       *        *

Lalu, lelaki shalih itu membelanjakan uang seribu dinar untuk membeli barang-barang dagangan. Dia hendak berdagang ke negeri seberang dengan menggunakan kapal. Setelah berlayar berhari-hari, kapal itu sampai di negeri seberang dengan selamat. Disana, dia mulai berdagang di sebuah pasar, dekat dermaga. Dalam waktu satu bulan, dagangannya telah habis. Dia mendapatkan keuntungan besar, yaitu tiga kali lipat dari modalnya.

Setelah berkemas, dia mencari kapal ke dermaga. Namun, dia tidak menemukan kapal yang berlayar ke negerinya. Kemudian, dia teringat pada janjinya yang akan mengembalikan uang itu pada awal bulan. Waktunya tinggal empat hari. Sedangkan untuk sampai ke negerinya, dia memerlukan waktu empat hari. Dia bingung, seharusnya, hari itu dia sudah mulai berlayar.

Lalu, dia terus berjalan sepanjang pantai untuk mencari nelayan yang bisa mengantarkannya pulang ke negerinya. Akan tetapi, dia tidak menemukannya. Dia menangis dan bingung. Dia tidak ingin mengkhianati janjinya.

Akhirnya, dalam kesedihannya, dia melihat sepotong kayu terapung di pinggir pantai. Dia mengambil kayu itu dan membawanya ke penginapannya.

Dia lalu pergi ke pasar untuk membeli alat pelubang kayu. Kayu itu dia lubanginya. Setelah itu dia menulis surat,
                Saudaraku, aku tulis surat ini empat hari sebelum jatuh tempo pembayaran uang yang aku pinjam seperti yang telah kita sepakati dulu. Aku tidak tahu apakah surat ini sampai kepadamu atau tidak. Aku sepenuhnya menyerahkan urusan ini kepada Allah yang menjadi penjaminku.
                Saat ini sebenarnya aku ingin berlayar pulang untuk mengantarkan uang ini. Namun, itu tidak bisa dilakukan karena tidak ada kapal yang berlayar. Kapal yang akan berlayar ke negeri kita adanya satu bulan lagi. Ini seribu dinar aku titipkan kepada Allah untuk disampaikan kepadamu melalui kayu ini.

           
                                                                                                             Wassalam,
                                                                                                            Sahabatmu
  
                                                                                                                                                                                                     
Lalu, dia memasukkan surat itu bersama uang seribu dirham. Surat dan uang itu dibungkusnya dengan kantong yang tidak tembus air. Setelah itu, dia menggergaji kayu untuk menyumpal lubang itu. Kemudian, dia memakunya kuat-kuat.

Setelah semuanya selesai, dia pergi ke pantai untuk menghanyutkan kayu itu.

Ketika menghanyutkan kayu itu, dia berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu kalau aku meminjam uang seribu dinar kepada Fulan. Dia bertanya padaku orang yang bisa menjadi jaminanku, dan aku menjawabnya. ‘Cukup Allahlah yang menjadi penjaminku.’ Lalu, dia meminta saksi, aku katakan, ‘Cukup Allahlah yang menjadi saksiku.’ Dia pun ridha Kau sebagai penjamin dan saksiku. Dia telah meminjamiku seribu dinar untuk dikembalikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa pulang guna membayarkan hutang ini, tetapi tidak bisa karena tak ada kapal. Sekarang, aku titipkan uang seribu dinar ini kepada-Mu untuk Kau sampaikan kepadanya, tepat pada waktunya. Engkaulah Tuhan yang Mahakuasa. Amin.”

Lalu, dia menghanyutkan kayu itu ke laut. Dia hanya berdiri diam di tepi pantai, sampai kayu itu hilang ditelan ombak di tengah laut.

Pada hari yang telah dinantikan, saudagar yang memberi  pinjaman itu, menanti di dermaga. Dia menanti datangnya kapal yang akan membawa orang yang telah dia pinjami uang seribu dinar. Dia ingin mengambil uangnya karena ada keperluan.

Biasanya, kapal itu dating pagi hari. Namun, pagi itu tidak ada kapal yang dating. Dia tunggu samapi siang, juga tidak datang. Lalu, dia menunggu samapai sore. Namun, tidak ada juga kapal yang muncul. Dia pun pasrah jika seandainya uang itu tidak kembali. Seandainya uang itu tidak kembali, dia niatkan sebagai sedekah.

Sebelum pulang, dia melihat ada kayu terapung diterjang ombak di pantai. Daripada pulang tidak membawa hasil, dia memungut gelondongan kayu itu.

“Lumayan, bisa untuk kayu bakar di rumah,” pikirnya dalam hati.
Dia pun membawa kayu itu ke rumahnya. Sampai  di rumah, dia meletakkan kayu itu  di dapur.

Melihat kayu gelondongan itu, istrinya berkata, “Sebaiknya di pecah-pecah sekalian. Biar cepat kering dan besok bisa digunakan memasak.”

Lalu, saudagar itu mengambil kapak dan memecah kayu itu. Begitu kayu itu pecah, dia tercengang melihat kantong yang ada di dalamnya. Dia memungut kantong itu dan mengeluarkan isinya. Ternyata, kantong itu berisi uang sebanyak seribu dinar dan selembar surat.

Dia membaca surat itu dengan seksama. Dia terharu dan takjub. Seketika, dia menangis dan bersujud kepada Allah. Dia merasa, betapa maha kuasanya Allah. Allah tidak pernah mengecewakan hamba-Nya yang bertawakal dan percaya sepenuh hati kepada-Nya. Surat itu datang dari saudaranya. Dia pun berdoa semoga saudaranya yang masih tertinggal di negeri seberang sehat wal afi’at dan mendapat rezeki yang lancar.

Satu bulan kemudian, lelaki shalih yang meminjam uang itu datang. Dia langsung menemui saudagar yang dulu meminjamkan uang kepadanya. Pertama-tama, dia meminta maaf karena datang terlambat sehingga terlambat pula membayar hutang. Lalu, dia menyodorkan uang seribu dinar.

Saudagar itu berkata, “Bukankah kau telah membayarnya?”
“Kapan?”
“Bukankah kau telah menitipkannya lewat sepotong kayu?”

Lalu saudagar itu menceritakan perihal kayu yang dia temukan; yang di dalamnya ada uang seribu dinar.

Mendengar ceritanya, lelaki shalih itu seketika bertasbih, “Subhanallah, Mahasuci Allah!”

                                               
                                                                  
                                                                Diambil dari buku Ketika Cinta Berbuah                                         Surga, yang ditulis oleh Habiburrahman                                                                                             El Shirazy

6 comments:

  1. wah belum baca karyanya kang abik yg satu ini,
    thank's y wit link saya udah di pasang,
    link wit udah ada d bintangair :)

    ReplyDelete
  2. @choirul: maksudnya??thanks udah mampir
    @Sang cerpenis bercerita : bener..thanks ya bwt komennya

    ReplyDelete
  3. cocoknya judulnya Kebesaran Allah, bukan kayunya yang ajaib.

    malem...

    ReplyDelete

Buat semua Sobat, saya sangat menghargai satu dua patah komentar Anda, tapi please gak usah meninggalkan link di kolom ini atau di Wit's chat box, ok.
Saya sangat menghargai pengertian sobat:)