Pada zaman Bani Israel, ada
seorang lelaki shalih yang hendak berdagang. Akan tetapi, dia tidak mempunyai
modal. Akhirnya, lelaki itu meminjam uang kepada seorang saudagar yang dikenal
pemurah. Dia meminta pinjaman sebesar seribu dinar.
Karena jumlahnya sangat banyak,
saudagar yang dipinjami uang itu berkata, “Kau akan aku pinjami uang, tetapi
carilah orang yang akan menjadi penjaminmu. Jika kau tidak bisa membayar, orang
itu yang akan membayarnya!”
Lelaki shalih itu menjawab, “Cukuplah
Allah sebagai penjaminku. Allah Mahakaya dan Mahakuasa!”
Saudagar itu lalu menukas,”Kalau
begitu, carilah saksi. Agar jika terjadi apa-apa dia bisa menjadi saksi yang
adil.”
Lelaki shalih itu menjawab. “Cukuplah
Allah sebagai saksiku. Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui.”
“Kau benar.”
Lalu, saudagar itu meminjamkan
uang seribu dinar setelah membuat kesepakatan bahwa tiga bulan kemudian uang
itu harus sudah dikembalikan, karena uang itu akan digunakan.
* *
*
Lalu, lelaki shalih itu membelanjakan uang seribu dinar
untuk membeli barang-barang dagangan. Dia hendak berdagang ke negeri seberang
dengan menggunakan kapal. Setelah berlayar berhari-hari, kapal itu sampai di
negeri seberang dengan selamat. Disana, dia mulai berdagang di sebuah pasar,
dekat dermaga. Dalam waktu satu bulan, dagangannya telah habis. Dia mendapatkan
keuntungan besar, yaitu tiga kali lipat dari modalnya.
Setelah berkemas, dia mencari kapal ke dermaga. Namun, dia
tidak menemukan kapal yang berlayar ke negerinya. Kemudian, dia teringat pada
janjinya yang akan mengembalikan uang itu pada awal bulan. Waktunya tinggal
empat hari. Sedangkan untuk sampai ke negerinya, dia memerlukan waktu empat
hari. Dia bingung, seharusnya, hari itu dia sudah mulai berlayar.
Lalu, dia terus berjalan sepanjang pantai untuk mencari
nelayan yang bisa mengantarkannya pulang ke negerinya. Akan tetapi, dia tidak
menemukannya. Dia menangis dan bingung. Dia tidak ingin mengkhianati janjinya.
Akhirnya, dalam kesedihannya, dia melihat sepotong kayu
terapung di pinggir pantai. Dia mengambil kayu itu dan membawanya ke
penginapannya.
Dia lalu pergi ke pasar untuk membeli alat pelubang kayu.
Kayu itu dia lubanginya. Setelah itu dia menulis surat,
Saudaraku, aku tulis surat ini empat hari
sebelum jatuh tempo pembayaran uang yang aku pinjam seperti yang telah kita
sepakati dulu. Aku tidak tahu apakah surat ini sampai kepadamu atau tidak. Aku
sepenuhnya menyerahkan urusan ini kepada Allah yang menjadi penjaminku.
Saat ini sebenarnya aku ingin
berlayar pulang untuk mengantarkan uang ini. Namun, itu tidak bisa dilakukan
karena tidak ada kapal yang berlayar. Kapal yang akan berlayar ke negeri kita
adanya satu bulan lagi. Ini seribu dinar aku titipkan kepada Allah untuk
disampaikan kepadamu melalui kayu ini.
Wassalam,
Sahabatmu
Lalu, dia memasukkan surat itu bersama uang seribu dirham. Surat dan
uang itu dibungkusnya dengan kantong yang tidak tembus air. Setelah itu, dia
menggergaji kayu untuk menyumpal lubang itu. Kemudian, dia memakunya kuat-kuat.
Setelah semuanya selesai, dia pergi ke pantai untuk
menghanyutkan kayu itu.
Ketika menghanyutkan kayu itu, dia berdoa, “Ya Allah,
Engkau tahu kalau aku meminjam uang seribu dinar kepada Fulan. Dia bertanya
padaku orang yang bisa menjadi jaminanku, dan aku menjawabnya. ‘Cukup Allahlah
yang menjadi penjaminku.’ Lalu, dia meminta saksi, aku katakan, ‘Cukup Allahlah
yang menjadi saksiku.’ Dia pun ridha Kau sebagai penjamin dan saksiku. Dia
telah meminjamiku seribu dinar untuk dikembalikan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa pulang guna membayarkan
hutang ini, tetapi tidak bisa karena tak ada kapal. Sekarang, aku titipkan uang
seribu dinar ini kepada-Mu untuk Kau sampaikan kepadanya, tepat pada waktunya.
Engkaulah Tuhan yang Mahakuasa. Amin.”
Lalu, dia menghanyutkan kayu itu ke laut. Dia hanya berdiri
diam di tepi pantai, sampai kayu itu hilang ditelan ombak di tengah laut.
Pada hari yang telah dinantikan, saudagar yang memberi pinjaman itu, menanti di dermaga. Dia menanti
datangnya kapal yang akan membawa orang yang telah dia pinjami uang seribu
dinar. Dia ingin mengambil uangnya karena ada keperluan.
Biasanya, kapal itu dating pagi hari. Namun, pagi itu tidak
ada kapal yang dating. Dia tunggu samapi siang, juga tidak datang. Lalu, dia
menunggu samapai sore. Namun, tidak ada juga kapal yang muncul. Dia pun pasrah
jika seandainya uang itu tidak kembali. Seandainya uang itu tidak kembali, dia
niatkan sebagai sedekah.
Sebelum pulang, dia melihat ada kayu terapung diterjang
ombak di pantai. Daripada pulang tidak membawa hasil, dia memungut gelondongan
kayu itu.
“Lumayan, bisa untuk kayu bakar di rumah,” pikirnya dalam
hati.
Dia pun membawa kayu itu ke rumahnya. Sampai di rumah, dia meletakkan kayu itu di dapur.
Melihat kayu gelondongan itu, istrinya berkata, “Sebaiknya
di pecah-pecah sekalian. Biar cepat kering dan besok bisa digunakan memasak.”
Lalu, saudagar itu mengambil kapak dan memecah kayu itu.
Begitu kayu itu pecah, dia tercengang melihat kantong yang ada di dalamnya. Dia
memungut kantong itu dan mengeluarkan isinya. Ternyata, kantong itu berisi uang
sebanyak seribu dinar dan selembar surat.
Dia membaca surat itu dengan seksama. Dia terharu dan
takjub. Seketika, dia menangis dan bersujud kepada Allah. Dia merasa, betapa
maha kuasanya Allah. Allah tidak pernah mengecewakan hamba-Nya yang bertawakal
dan percaya sepenuh hati kepada-Nya. Surat itu datang dari saudaranya. Dia pun
berdoa semoga saudaranya yang masih tertinggal di negeri seberang sehat wal afi’at dan mendapat rezeki yang lancar.
Satu bulan kemudian, lelaki shalih yang meminjam uang itu datang.
Dia langsung menemui saudagar yang dulu meminjamkan uang kepadanya.
Pertama-tama, dia meminta maaf karena datang terlambat sehingga terlambat pula
membayar hutang. Lalu, dia menyodorkan uang seribu dinar.
Saudagar itu berkata, “Bukankah kau telah membayarnya?”
“Kapan?”
“Bukankah kau telah menitipkannya lewat sepotong kayu?”
Lalu saudagar itu menceritakan perihal kayu yang dia
temukan; yang di dalamnya ada uang seribu dinar.
Mendengar ceritanya, lelaki shalih itu seketika bertasbih, “Subhanallah, Mahasuci Allah!”
Diambil dari buku Ketika Cinta
Berbuah Surga, yang ditulis oleh Habiburrahman El
Shirazy
wah belum baca karyanya kang abik yg satu ini,
ReplyDeletethank's y wit link saya udah di pasang,
link wit udah ada d bintangair :)
nice story.
ReplyDeletewah belum bisa baca ini
ReplyDelete@choirul: maksudnya??thanks udah mampir
ReplyDelete@Sang cerpenis bercerita : bener..thanks ya bwt komennya
cocoknya judulnya Kebesaran Allah, bukan kayunya yang ajaib.
ReplyDeletemalem...
met malam..
ReplyDelete