Dulu, ketika masih duduk di Sekolah Menengah Pertama, saya sering sekali
mendengar om atau tante saya yang berujar jika keponakannya terlalu manja. Satu
kalimat yang masih membekas diingatan saya, “Eh, kamu sudah besar kok masih gak
mandiri.”
Ya, begitulah cara beliau mengoreksi tingkah anak-anak yang seharusnya
telah mandiri, namun justru bertingkah sebaliknya.
Laen lagi mama, beliau mengindikasikan kata “mandiri” dengan kepanjangan
“mandi sendiri”. Ah, ada-ada saja plesetan mama untuk 7 huruf tersebut:)
Dulu, saya belum memahami betul implementasi kata “mandiri” tersebut pada
tiap individu, baru setelah tamat kuliah dan bekerja dan memahami benar arti
perjuangan hidup agar dapat survive
dalam kehidupan ini, saya akhirnya menyadari sekali dahsyatnya “kemandirian”
itu. Barangkali, sedikit telat, but it’s ok. Saya ingat idiom yang bilang “better
late than never”. Atau sederhananya “terlambat itu jauh lebih baik
dibandingkan tidak sama sekali”. Setuju? (harus ya :D)
O.k berkaitan dengan kata “kemandirian” yang dibahas barusan, menurut
pemikiran sederhana saya (ini menurut saya loh), keterbatasan terkadang membuat
seseorang lebih mandiri dari usianya. Contoh sederhananya adalah anak yang
berasal dari kalangan financial lemah itu lebih mandiri dibandingkan anak-anak
yang berasal dari golongan atas yang kehidupannya selalu diayomi oleh orang
tua.
Pada kasus anak-anak dari golongan ekonomi lemah, kerasnya hidup membuat
mereka dewasa sebelum waktunya. Meski usia mereka masih belia, tetapi tantangan
keadaan seakan “memaksa” mereka berpikir keras untuk maju, guna menghidupi diri
mereka sendiri (Ssst.., opini ini belum tentu berlaku pada semua anak dari
golongan financial lemah ya, semua tergantung dari pola pikir mereka juga).
Saya dapat menyimpulkan bahwa kerasnya hidup membuat seseorang lebih
mandiri dari usianya pada kasus anak-anak golongan ekonomi lemah karena realita
yang ada di hadapan saya. Sebut saja Arman, teman dekat saya. Perjalanan hidupnya membuat saya berdecak kagum.
Bagaimana tidak, mulai dari SMP sampai perguruan tinggi, ia biayai dari
keringatnya sendiri. Wow..fantastik bukan?
Saya pribadi begitu tercengang. Bagaimana bisa saya pikir, mengingat usia
tamat Sekolah dasar itu masih hijau sekali. Kebanyakan di usia tersebut, tak
semua anak memiliki pemikiran untuk belajar, jika tidak di arahkan oleh kedua
orang tua mereka. Akan tetapi, keadaan yang berbanding terbalik terjadi pada
Arman. Arman, sahabat saya itu bukan hanya tak ada yang mengarahkan, tetapi
dengan keinginan ia sendiri, ia berpikir keras untuk membiayai sekolahnya dan
bercita-cita untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Waktu itu, saya bertanya “Emang, apa yang dapat Kamu lakukan agar
memperoleh uang?”. Jawab beliau, “apapun saya lakukan, asal saya mampu, mula
dari mencuci mobil, mengumpulkan barang bekas, membantu membawa belanjaan di
pasar, hingga bersih-bersih di rumah makan(bahkan sampai mencuci piring)”.
Subhanallah…mendengar jawaban beliau saya begitu terhenyuh, pergulatan
hidup yang tak musdah untuk anak seusia beliau saat itu.
Kemudian, saya kembali bertanya
kepada Arman, “Kok di usiamu yang masih terbilang anak-anak itu, kamu bisa
memiliki pemikiran sangat jauh ke depan, apa alasannya?”
Dengan senyum mengambang di wajahnya, ia mengatakan “ketidaknyamanan hidup
yang kualami, memaksaku untuk mandiri demi kehidupan yang jauh lebih baik.
Memang, aku memiliki orang tua, namun orang tuaku tak mampu membiayai
pendidikanku. Makanya aku sendirilah yang harus berusaha mandiri agar mampu
mengenyam pendidikan tinggi”.
Jawaban Arman membuat saya akhirnya menyadari betul bahwa terkadang
kemandirian itu terjadi karena pola keadaan yang memaksanya bersikap demikian.
Mungkin, akan beda hasilnya, jika keadaannya dibalik. Si anak berasal dari
keluarga mapan dengan fasilitas hidup yang full. Otomatis, dengan merasa
hidupnya difasilitasi ditambah control yang kurang dari orang tuanya yang super
sibuk, jadilah si anak hidup semau-maunya dan serba malas. Dia berpikir,
daripada belajar lebih baik main, buat apa capek-capek sekolah toh hidupnya
juga enak. (maaf, ini hanya sebagai perbandingan saja, namun tak semua anak
dari keluarga mapan begini kok, sekali lagi hanya untuk perbandingan saja,
bukan berarti merepresentasikan semua keadaan anak orang kaya, Ok:).