Monday, August 30, 2010

Kemandirian

Dulu, ketika masih duduk di Sekolah Menengah Pertama, saya sering sekali mendengar om atau tante saya yang berujar jika keponakannya terlalu manja. Satu kalimat yang masih membekas diingatan saya, “Eh, kamu sudah besar kok masih gak mandiri.”
Ya, begitulah cara beliau mengoreksi tingkah anak-anak yang seharusnya telah mandiri, namun justru bertingkah sebaliknya.
Laen lagi mama, beliau mengindikasikan kata “mandiri” dengan kepanjangan “mandi sendiri”. Ah, ada-ada saja plesetan mama untuk 7 huruf tersebut:)
Dulu, saya belum memahami betul implementasi kata “mandiri” tersebut pada tiap individu, baru setelah tamat kuliah dan bekerja dan memahami benar arti perjuangan  hidup agar dapat survive dalam kehidupan ini, saya akhirnya menyadari sekali dahsyatnya “kemandirian” itu. Barangkali, sedikit telat, but it’s ok. Saya ingat idiom yang bilang “better late than never”. Atau sederhananya “terlambat itu jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali”. Setuju? (harus ya :D)
O.k berkaitan dengan kata “kemandirian” yang dibahas barusan, menurut pemikiran sederhana saya (ini menurut saya loh), keterbatasan terkadang membuat seseorang lebih mandiri dari usianya. Contoh sederhananya adalah anak yang berasal dari kalangan financial lemah itu lebih mandiri dibandingkan anak-anak yang berasal dari golongan atas yang kehidupannya selalu diayomi oleh orang tua.
Pada kasus anak-anak dari golongan ekonomi lemah, kerasnya hidup membuat mereka dewasa sebelum waktunya. Meski usia mereka masih belia, tetapi tantangan keadaan seakan “memaksa” mereka berpikir keras untuk maju, guna menghidupi diri mereka sendiri (Ssst.., opini ini belum tentu berlaku pada semua anak dari golongan financial lemah ya, semua tergantung dari pola pikir mereka juga).
Saya dapat menyimpulkan bahwa kerasnya hidup membuat seseorang lebih mandiri dari usianya pada kasus anak-anak golongan ekonomi lemah karena realita yang ada di hadapan saya. Sebut saja Arman, teman dekat saya. Perjalanan  hidupnya membuat saya berdecak kagum. Bagaimana tidak, mulai dari SMP sampai perguruan tinggi, ia biayai dari keringatnya sendiri. Wow..fantastik bukan?
Saya pribadi begitu tercengang. Bagaimana bisa saya pikir, mengingat usia tamat Sekolah dasar itu masih hijau sekali. Kebanyakan di usia tersebut, tak semua anak memiliki pemikiran untuk belajar, jika tidak di arahkan oleh kedua orang tua mereka. Akan tetapi, keadaan yang berbanding terbalik terjadi pada Arman. Arman, sahabat saya itu bukan hanya tak ada yang mengarahkan, tetapi dengan keinginan ia sendiri, ia berpikir keras untuk membiayai sekolahnya dan bercita-cita untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Waktu itu, saya bertanya “Emang, apa yang dapat Kamu lakukan agar memperoleh uang?”. Jawab beliau, “apapun saya lakukan, asal saya mampu, mula dari mencuci mobil, mengumpulkan barang bekas, membantu membawa belanjaan di pasar, hingga bersih-bersih di rumah makan(bahkan sampai mencuci piring)”.
Subhanallah…mendengar jawaban beliau saya begitu terhenyuh, pergulatan hidup yang tak musdah untuk anak seusia beliau saat itu.
Kemudian, saya  kembali bertanya kepada Arman, “Kok di usiamu yang masih terbilang anak-anak itu, kamu bisa memiliki pemikiran sangat jauh ke depan, apa alasannya?”
Dengan senyum mengambang di wajahnya, ia mengatakan “ketidaknyamanan hidup yang kualami, memaksaku untuk mandiri demi kehidupan yang jauh lebih baik. Memang, aku memiliki orang tua, namun orang tuaku tak mampu membiayai pendidikanku. Makanya aku sendirilah yang harus berusaha mandiri agar mampu mengenyam pendidikan tinggi”.
Jawaban Arman membuat saya akhirnya menyadari betul bahwa terkadang kemandirian itu terjadi karena pola keadaan yang memaksanya bersikap demikian. Mungkin, akan beda hasilnya, jika keadaannya dibalik. Si anak berasal dari keluarga mapan dengan fasilitas hidup yang full. Otomatis, dengan merasa hidupnya difasilitasi ditambah control yang kurang dari orang tuanya yang super sibuk, jadilah si anak hidup semau-maunya dan serba malas. Dia berpikir, daripada belajar lebih baik main, buat apa capek-capek sekolah toh hidupnya juga enak. (maaf, ini hanya sebagai perbandingan saja, namun tak semua anak dari keluarga mapan begini kok, sekali lagi hanya untuk perbandingan saja, bukan berarti merepresentasikan semua keadaan anak orang kaya, Ok:).



READMORE - Kemandirian

Monday, August 23, 2010

Menjadi Kaya Tak Bahagia

Banyak orang yang bercita-cita menjadi orang kaya.  Hidup berkecukupan, begitu nikmat. Namun, setelah mereka mencapai di titik itu apakah mereka bahagia? Jawabannya tentu tergantung dari tiap individu.

Sekedar berbagi sedikit, pada beberapa acara reality show di televisi, serta fenomena di sekitar kita, kita dapat merenungkan dan berpikir bahwa tak selamanya harta yang melimpah itu membawa faedah yang berujung pada kebahagiaan. Tak percaya?

Coba diingat lagi! Dari acara reality show dan fenomena di sekitar kita  tersebut,  berapa banyak di istana orang kaya ini terjadi linangan airmata?Bingung maksudnya?

Begini, coba ditelisik kembali ingatan kita!Sudah ingat?O.k. Banyak terjadi perselingkuhan,penggunaa narkoba dan beberapa tindakan amoral yang dilakukan oleh mereka dari kalangan orang kaya tersebut. Lalu, pertanyaannya mengapa hal ini dapat terjadi?

Kalau menurut saya, ini disebabkan karena mereka tak bersyukur dengan apa yang telah mereka miliki. Kekayaan yang dititipkan kepada mereka, justru dijadikan celah untuk berbuat maksiat. Padahal, seharusnya mereka menyadari bahwa harta yang dibawa pada hal-hal yang menyimpang, mudharat, takkan bertahan lama. Kalaupun harta itu masih bertahan, akan tetapi harta yang sesungguhnya, yaitu “kebahagiaan” tak pernah mereka dapatkan. Yang mereka alami justru masalah demi masalah yang bertambah pelik, pertengkaran demi pertengkaran yang menyesatkan pikiran dan mengganggu ketenangan  hati.  Kalau sudah begitu apakah kebahagiaan akan didapatkan??
   
READMORE - Menjadi Kaya Tak Bahagia